Headline News

DEMOKRASI TERBAKAR, ASPIRASI MENJADI API


KAB.KUNINGAN, sensornews.id - Sejumlah Gedung DPRD, halte dan fasilitas umum lainnya di berbagai kota menjadi korban dari luapan emosi massa. Aksi yang semula diniatkan sebagai wujud aspirasi oleh pengemudi ojek online (ojol) dan mahasiswa berubah menjadi tragedi yang memilukan Kamis-Jumat (29-30/8/2025).

Peristiwa ini adalah pengingat tentang kerapuhan demokrasi kita. Dalam sistem yang seharusnya menjunjung tinggi dialog, musyawarah dan kesepakatan, justru api dan amarah yang mendominasi. 


Kemarahan publik seringkali lahir dari ketidakpercayaan terhadap wakil rakyat dan institusi DPR/DPRD. Janji-janji politik yang kosong, korupsi yang tak kunjung reda dan keadilan yang terasa jauh dari jangkauan membuat rakyat merasa bahwa satu-satunya cara untuk didengar adalah dengan tindakan ekstrem.

Namun, membakar gedung dan fasilitas publik bukanlah solusi. Aksi destruktif ini justru merusak esensi dari perjuangan itu sendiri. Gedung DPRD adalah simbol rumah rakyat, tempat di mana suara mereka seharusnya diperjuangkan. Ketika simbol itu dihancurkan, maka harapan pun ikut hangus.

Muslim Indonesia yang mayoritas menganut teologi Asy’ariyah, fiqih Syafi'iyah dan tasawuf Ghazaliyah telah lama menjadi penyangga stabilitas sosial. Ia mengajarkan bahwa penyimpangan penguasa cukup diluruskan dengan lisan, bukan dengan pedang (kekerasan). Bahwa amar ma’ruf nahi munkar harus dijalankan dengan hikmah, bukan dengan nafsu amarah.

Bisikan nafsu cenderung salah,  Syaikh Ibnu 'Athaillah mengatakan “Jika ada dua perkara yang membuatmu ragu, maka lihatlah mana yang berat bagi nafsu, lalu ikutilah. Sesungguhnya tidaklah nafsu merasa berat kecuali jika itu benar.”

Syaikh Zarruq menjelaskan bahwa dorongan nafsu adalah kecenderungan untuk meraih tujuan-tujuan yang diinginkan tanpa memperhatikan syariat. Mengikutinya berarti berpaling dari hikmah dan kebenaran.

Kerusuhan semalam bukan hanya soal politik, tapi soal spiritualitas yang kehilangan arah. Ketika nafsu menguasai nurani, maka yang tersisa hanyalah kehancuran. Kita butuh demokrasi yang bestari. Kata bestari berasal dari khazanah melayu klasik, bermakna cerdas, bijaksana dan beradab. 

Demokrasi yang tahu kapan harus bersuara dan bagaimana menyuarakannya. Ia bukan tunduk, tapi juga bukan memberontak. Ia adalah jalan tengah yang menjunjung tinggi etika dan moral. Kita butuh demokrasi yang bestari, demokrasi yang tidak hanya memberi ruang untuk marah, tapi juga memberi solusi yang bermartabat. 

Demokrasi yang tidak hanya bicara hak, tapi juga menanamkan hikmah kebijaksanaan.

(*Ayik Heriansyah/PWNU Jabar/ran).