Headline News

Menggagas Hubungan Industrial untuk Sektor Informal: Kesejahteraan Pekerja dan Pertumbuhan Ekonomi Jadi Fokus Utama


JAKARTA, sensornewd.id – Dalam catatan pagi yang disampaikan hari ini, terungkap gagasan penting mengenai perlunya membangun hubungan industrial yang inklusif untuk sektor informal di Indonesia. Gagasan ini muncul seiring dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketenagakerjaan yang baru, sebagai amanat dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168 Tahun 2023.(22/09/25)

Hubungan industrial, yang selama ini lebih banyak diterapkan pada sektor formal, dinilai memiliki korelasi erat dengan iklim investasi dan pembukaan lapangan kerja. Secara makro, hal ini akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi yang dirumuskan sebagai Konsumsi Agregat (C) + Investasi (I) + Belanja Pemerintah (G) + Ekspor (E) – Impor (I). Pertumbuhan ekonomi yang positif akan mendukung terciptanya lapangan kerja formal, meningkatkan pendapatan pekerja, dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan. Efek domino dari lapangan kerja formal juga akan membuka peluang di sektor informal, sehingga mengurangi Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT).

Namun, tantangan utama adalah bagaimana menerapkan konsep hubungan industrial ini pada sektor informal, yang mencakup mayoritas (59,4%) angkatan kerja di Indonesia. Sektor informal memiliki karakteristik yang berbeda dengan sektor formal, terutama karena pekerja informal tidak memiliki pengusaha secara langsung. Oleh karena itu, perlu ada pendekatan khusus yang melibatkan pemerintah dan pekerja informal dalam membangun hubungan industrial yang efektif.

Pekerja berbasis digital juga menjadi perhatian khusus dalam gagasan ini. Diharapkan, akan terjalin hubungan industrial yang melibatkan pemerintah, aplikator, dan pekerja digital, sehingga hak-hak pekerja terlindungi dan kesejahteraan mereka terjamin.

Delapan Sarana Hubungan Industrial yang diamanatkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mencakup Pekerjaan Layak, Perlindungan Sosial, Promosi Hak-hak Dasar Pekerja, dan Promosi Dialog Sosial, juga harus menjadi rujukan dalam membangun hubungan industrial di sektor informal.

Mengingat kontribusi signifikan sektor informal terhadap perekonomian dan industri Indonesia, gagasan ini menjadi sangat relevan. Hubungan industrial yang baik di sektor informal akan menjadi indikator penting dalam mengukur kesejahteraan pekerja informal, termasuk pekerja berbasis digital.

Seluruh serikat pekerja/serikat buruh diharapkan dapat mendorong terciptanya hubungan industrial di sektor informal dalam RUU Ketenagakerjaan yang baru. Langkah ini akan menjadi wujud nyata dalam mendukung kesejahteraan seluruh pekerja di Indonesia, tanpa terkecuali.

Implementasi hubungan industrial di sektor informal bukan tanpa tantangan. Perlu adanya regulasi yang fleksibel dan adaptif, mengingat karakteristik sektor informal yang beragam. Selain itu, sosialisasi dan edukasi mengenai hak dan kewajiban pekerja informal juga menjadi kunci keberhasilan. Pemerintah diharapkan dapat berperan aktif dalam memfasilitasi dialog antara pekerja informal, aplikator (khusus untuk pekerja digital), dan pihak-pihak terkait lainnya.

Namun, dengan komitmen dan kerja sama dari semua pihak, gagasan ini memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja informal di Indonesia. Hubungan industrial yang inklusif akan menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil, aman, dan produktif. Hal ini juga akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial.

Gagasan ini bukan hanya sekadar wacana, tetapi juga seruan untuk aksi nyata. RUU Ketenagakerjaan yang baru harus menjadi momentum untuk mewujudkan hubungan industrial yang inklusif dan berkeadilan. Seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, serikat pekerja/serikat buruh, pengusaha, aplikator, dan pekerja informal, harus bersatu padu untuk mencapai tujuan ini. Dengan demikian, kesejahteraan seluruh pekerja di Indonesia dapat terwujud, dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dapat dicapai.

(Dirop Efendi lubis SH)