Headline News

Antara Mutu dan Realitas: Polemik Syarat Ijazah Darat bagi Pelaut Indonesia




JAKARTA, sensornews.id – Kebijakan terbaru Dewan Penguji Keahlian Pelaut (DPKP) Indonesia yang mewajibkan calon peserta diklat dan ujian keahlian laut untuk melampirkan ijazah Diploma III darat menuai kegamangan dan protes luas dari kalangan pelaut.(9/10/25)

Surat Nomor DPKP/UM/1018/X/2025 yang dikeluarkan pada 3 Oktober 2025 tersebut mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor HK.103/4/2/DJPL-2015, ketentuan yang sebenarnya sudah lama ada namun selama ini tidak diterapkan secara konsisten. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan mutu dan profesionalitas pelaut Indonesia agar lebih kompetitif di pasar tenaga kerja global.

Namun, syarat administratif yang mewajibkan ijazah Diploma III darat dianggap tidak relevan oleh mayoritas pelaut, terutama mereka yang meniti karier melalui pengalaman langsung di kapal dan pelatihan berbasis kompetensi. Mereka menilai keahlian yang dibangun dari pengalaman nyata di laut jauh lebih penting daripada sekedar ijazah formal.

Ketidakkonsistenan penerapan aturan ini selama bertahun-tahun juga menimbulkan kebingungan. Beberapa pelaut yang sudah siap mengikuti diklat lanjutan atau ujian harus menunda prosesnya hanya karena persoalan administratif, bukan kurangnya kompetensi.

Syofyan Ketua Umum Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI) menilai akar persoalan rendahnya mutu kompetensi pelaut bukan terletak pada ijazah darat, melainkan pada sistem pendidikan dan pelatihan maritim yang selama ini masih banyak praktik buruk. Praktik “uang kolektif”, ‘wisuda dulu baru ujian’, serta minimnya verifikasi masa layar pelaut sesuai standar STCW, dinilai jauh lebih merusak kualitas profesional pelaut daripada sekadar persyaratan ijazah.

Syofyan menekankan bahwa peningkatan mutu pelaut harus dimulai dari perbaikan tata kelola lembaga diklat, penegakan integritas pendidikan, serta pengawasan yang ketat dan transparan. Selain itu, pemerintah diharapkan menyediakan mekanisme transisi yang adil bagi pelaut berpengalaman tanpa latar belakang akademik, misalnya melalui Recognition of Prior Learning (RPL) yang menjadi praktik umum di negara-negara maritim maju.

Sampai kebijakan tidak berpihak kepada realitas lapangan dan praktik sertifikasi dijalankan dengan jujur tanpa kompromi, cita-cita meningkatkan kompetensi pelaut Indonesia sulit terwujud tutup Syofyan. (Fahri)